08/09/2012. Yogyakarta-Ngawi. Beberapa minggu belakangan ini aku lebih suka menempuh perjalanan Ngawi-Jogja, Jogja-Ngawi dengan menggunakan jasa angkutan kereta Madiun Jaya alih-alih tetap memakai jasa Sumber Kencono, Mira atau Eka seperti yang sudah-sudah. Tidak terlalu capek kalau naik kereta, itu alasan utamanya.
Luas stasiun yang relatif kecil dibanding terminal ditambah jadwal keberangkatan kereta yang sudah pasti memungkinkanku bertemu dengan kawan-kawan lama asal Ngawi yang tengah belajar di Jogja. Ketika kereta melewati stasiun Solo Balapan, kadang tambah lagi ketemu kawan yang tengah belajar di Solo. Seperti yang terjadi sabtu kemarin. Tengah asyik membaca tabloid BOLA yang kubeli di stasiun Lempuyangan, tiba-tiba ada orang yang duduk di depanku.
“Nugroho ya..?!” sapanya mengagetkanku.
“Owh…, kamu to..”, kataku sembari mengingat-ingat, siapa nama orang ini.
Bayangan yang muncul dalam ingatanku adalah, dia memang teman satu kelasku ketika SMA kelas satu dulu. Masalahnya, kita sudah berpisah sejak kelas dua SMA karena program prnjurusan. Aku di IPA 5 dia di IPA 6 (ini pun aku tahu belakangan).
Belum kelar aku menebak-nebak namanya, dia sudah memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan standar ketika bertemu kawan lama: sekarang di mana? Kamu udah lulus kan? Kos di mana?, dan pertanyaan-pertanyaan standar lain.
Aku jawab pertanyannya satu-satu, hingga tuntas dan sekarang giliranku mengajukan pertanyaan yang tak jauh beda dengan yang dia ajukan, lebih ngirit pertanyaan malah, karena setiap dia bertanya tentang diriku, di akhir jawabanku akan aku tambahi dengan pertanyaan: “Kalau kamu?” Haha, praktis dan tidak kehilangan bahan obrolan.
Beberapa menit berbincang, aku tahu kalau dia sudah lulus S1 dari Pendidikan Biologi UNS (jurusan yang sama denganku sebelum aku berganti jurusan karena pindah ke STAN) dan katanya sekarang masih di UNS, masih ingin belajar lebih lagi di UNS. Aku yang kurang paham dengan pilihan kata yang ia pakai –belajar lebih lagi–, mengejar lebih jauh, “nglanjutin S2?” Dengan senyum malu-malu dia menjawab, “Alhamdulillah, iya”.
Aku terdiam sejenak, seperti biasa mencoba menyalurkan imaji dengan bermain-main dengan pikiranku sendiri. Dia, kawanku ini yang ketika SMA –mohon maaf– tidak terlalu menonjol dalam akademis maupun organisasi sehingga untuk mengingat namanya aku perlu mencarinya yang mungkin terselip dalam file-file lama pada ingatanku.
Entah, bagaimana mengatakannya, tapi aku kagum dan salut akan komitmennya pada ilmu dan pendidikan, mengingat jejak rekam di SMA yang kalah mentereng dengan nama-nama yang jadi langganan juara kelas dan lomba olimpiade. Bahkan seringkali ketika di kelas dengan muka polosnya kerap kebingungan karena gak nyambung dengan penjelasan bapak/ ibu guru. Namun, ketika teman-teman seangkatan lain banyak yang masih berkutat dengan skripsi, persiapan wisuda, atau bahkan masih adem ayem di ruang kuliah karena target SKS yang belum terpenuhi, ia mengejutkanku karena sudah kembali lagi ke ruang kuliah dengan santapan ilmu yang berbeda; S2 Mikro Biologi UNS. Selamat kawan.
“Semoga sukses”, kataku sebelum kami berpisah karena aku akan turun di stasiun Paron dan ia melanjutkan perjalanan sampai stasiun Geneng, sambil menatap diriku sendiri yang masih lulusan D3. Tak apa, ia memotivasi untuk tak cepat puas akan ilmu. Suatu saat dengan izin Allah, aku akan melampauinya.
#respect
*eh, sudahkah kutulis bahwa kawanku ini seorang perempuan?