Dimana Toleransi Untuk si Lajang?

Nice, Dear…

Reading Nook

Sebelum saya menuliskan apa yang ada dalam benak saya selama ini, saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini adalah hasil beberapa waktu dan beberapa kali bincang-bincang saya bersama life-partner saya dan sahabat saya dengan pengamatannya dan pengamatan saya.

Saya lupa tepatnya kapan, saya hanya ingat sebulan sebelum saya menggenapkan separuh agama, saya diwelingi oleh sahabat saya, beberapa sahabat saya agar tidak terlena pada euforia pasca pernikahan. Agar saya tidak mengumbar kemesraan di status akun lini masa yang saya punya, mengunggah foto berdua secara close-up dempet-dempetan dan kawan-kawannya. Saat itu, saya iyakan. Saya berusaha pegang dan jalankan. Ternyata setelah pasca pernikahan, harapan dari sahabat-sahabat saya pun diuji. Ternyata tidak mudah. Ya, bayangkan saja seperti anak kecil yang punya mainan baru. Dia akan berusaha agar semua teman-temannya tahu kalau dia punya mainan baru. Alhamdulillah, lelaki yang menjadikan saya tulang rusuknya memiliki tekad seperti amanah yang dititipkan sahabat saya. Akhirnya, pilihan kami ambil…

View original post 618 more words

Aksara Cinta

Seperti halnya, saat kita berdua berjalan berdampingan. Aku terus bicara berharap ada timbal balik dari apa yang kubicarakan, tetapi saat aku melihatmu yang kudapati hanyalah dirimu yang terpaku menatap apa yang di depanmu tanpa menatapku. Maka saat itu aku akan mengatur langkahku untuk mundur dan berjalan di belakangmu, membiarkanmu menikmati duniamu dan aku hanya akan memandangimu dari jarak pandangku. Menikmati punggungmu tanpa kamu tahu, dan terus terjaga. Jika kamu memanggilku, aku akan dengan cepat melangkah berada di sampingmu.

Aku akan diam dan menunggumu.

Saat kamu berbalik dan memanggilku, aku maju berada di sampingmu. Kamu akan menoleh padaku begitu juga aku. Nanti kita akan berbincang, tertawa atau main parampaa dan kau akan menertawakanku karena aku malas berpikir, tak bisa kreatif dan kamu akan bilang, “ayo, kreatiflah…” [CRH]

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.

Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.

Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar. Atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu –entah kapan dan kenapa–. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, marekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan. Karena cinta adalah mengalami.

Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud. [Dee]

A’rifuka biannii uhibbuka hubban syadiidan,
wa annanii syauq ma’aka syauqan syadiidan
. [CRH]

Mi Ayam, bukan Mie Ayam

13/11/2013 11:59 WIB. Siang ini lagi lapar, ingetnya makanan mulu dari tadi. Kebetulan ada temen kantor yang baru pulang haji bawa oleh-oleh, lumayan.

Ngomong-ngomong tentang makanan, sejak kecil aku suka banget dengan yang namanya mi. Baik itu mi ayam, mi goreng, mi instan, dan beragam penganan lain yang mengandung bahan dasar dasar mi. Kesukaanku ini mungkin ada hubungannya ketika aku masih dalam kandungan Ibu. Jadi, 24 tahun yang lalu ketika Ibu mengandungku, beliau sangan benci sekali dengan makanan yang berbentuk mi, bahkan hampir muntah kalau ketemu dengan bentuk mi apapun. Nah, ketidaksukaan beliau inilah yang mungkin mempengaruhi kesukaanku akan mi ketika aku lahir. Teorinya mungkin begini, asupan mi yang sangat kurang ketika dalam kandungan berpengaruh kepada keinginan yang amat besar pada makanan berbahan dasar mi untuk memakannya setelah bayi dilahirkan. Kedengaran absurd sih, haha. Mungkin bisa jadi inspirasi untuk nulis skripsi.

Berkaitan dengan mi, ada satu olahan mi yang aku sangat suka banget sejak kecil, namanya mi ayam. Mi ayam adalah olahan mi yang direbus lalu ditambahkan sawi dan ayam yang dicincang sebagai pelengkapnya, kadang ditambahkan juga dengan irisan daun bawang atau bawang goreng. Setiap daerah berbeda-beda dalam menambahkan topping (kuliner banget bahasanya, haha) pada mi ayam.

Ketika tinggal di Lampung pun, mi ayam adalah salah satu kuliner yang ingin aku coba. Tapi beberapa kali menjumpai olahan mi ayam yang beda dengan di jawa. Perbedaan yang paling kelihatan adalah cincang daging ayamnya yang lebih halus serta tambahan tauge (capar kalau bahasa desaku) dan daun bawang di atasnya. Selain itu kuah mi bangka juga lebih encer dan lebih terang serta rasanya yang tidak sekuat mi ayam jawa. Beberapa warung mi ayam yang ada di Lampung lebih banyak menjual mi dengan citarasa khas bangka dibanding dengan mi ayam jawa. Mungkin lebih layak disebut mi ayam bangka, walaupun pada papan depan warung cuma tertulis Mie Ayam (kadang ditambahai kata-kata Nikmat, Mantap, Sedap, dsb. Sesuai selera yang punya warung). Walaupun lebih banyak yang mengolah dengan ‘gaya’ Bangka, ada beberapa warung mi ayam di dekat tempat kos yang masih tersisa rasa jawanya, walaupun tidak pure jawa banget. Beberapa mi ayam rasa jawa yang sudah aku coba diataranya, Mie Ayam Bakso Sonny, mi ayam tanpa nama di dekat belokan arah PDAM Way Rilau (kalau gak salah namanya itu), dan mi ayam (yang nggak aku perhatikan namanya apa) baru buka di samping rental PS3, depan pijat refleksi Naomi (semoga nggak iklan banget). Walaupun rasanya gak seenak warung mi ayam Lik No Beran, tapi mendinglah dari pada yang ‘gaya’ bangka.

Mungkin berkaitan dengan selera juga sih, tapi memang aku lebih suka mi ayam olahan jawa dibanding mi ayam (bangka) olahan pulau sumatra. Orang jawa tak bisa luntur begitu saja lidah jawanya, pun begitu dengan selera rasa makanan. Mungkin karena alasan yang sama, sampai sekarang aku gak doyan dengan rasa tempoyak. Tempoyak itu makanan semacam sambel atau cocolan hasil fermentasi durian. Kata orang asli Lampung sih enak buat teman makan pindang, tapi aku gak doyan sampai sekarang. Cerita tentang mi ayam selesai, back to work.

mi ayam jawa sumber: mi jawa

mi ayam jawa
sumber: mi jawa

mi ayam bangka sumber: mi bangka

mi ayam bangka
sumber: mi bangka

NIKA(H)

Dalam ‘Aliran Darah’ ada Bulan, Perjalanan, Kita.

Segala senyum mengembang, sepasang tangan berhias, dan aku akhirnya tersenyum dalam hati.
“Senyumlah, biar lengkap doa terpatri”, kataku sendiri.

Aku hanya ingin memujimu,
Menyejajari langkahmu.

Akan kurangkai sepenuhnya, kata yang kemarin terserak.
Kata itu telah terangkai, tentu dengan koma, titik, seru dan tanya.
Pandang saja…
Indah…

cover depanisi1isi2denahcover belakang

Prof. Djokosantoso Moeljono: Jawa itu Disiplin

Jamak diketahui dalam pandangan masyarakat awam bahwa orang jawa itu kesannya klemar-klemer, ragu-ragu, ewuh pakewuh, lamban, tidak tegas dan kata-kata yang berkonotasi semacamnya. Anggapan seperti ini muncul bisa jadi disebabkan karena kita, atau saya memang melihatnya demikian. Lihatlah Solo yang masih begitu kental –selain Jogja– dengan adat istiadat dan budaya jawa telah menjelma menjadi perlambang ‘kelemah-lembutan’ tersebut. Bahkan ada sebuah guyonan yang menyebut perempuan asal Solo dengan sebutan Putri Slow yang merupakan plesetan dari Putri Solo.

Pro. Djokosantoso Moeljono, guru besar UGM dan mantan Dirut BRI dalam suatu wawancara sungguh menolak pandangan kebanyakan orang terhadap kepribadian orang jawa yang seperti ini.

“Itu Jawa yang terjajah. Jawa yang sesungguhnya itu Mataram.” Katanya merujuk nama sebuah kerajaan besar yang pernah bercokol di Pulau Jawa dengan Jogja sebagai pusatnya.

sumber: wikimedia

Sultan Agung Hanyokrokusumo
sumber: wikimedia

Salah satu raja terbesar yang pernah memerintah kerajaan Mataram adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo, beliau mempunyai salah satu value yang berbunyi, lamun sliro assoring jurit ing ngaloko ojo wani mulih-mulih ning Jowo luwih becik sliro mati. Jadi kalau kamu kalah bertempur, jangan pulang, lebih baik mati. Itu persis sama dengan nilai-nilai yang tumbuh di Jepang. Bedanya kalau Jepang itu seppuku atau harakiri, kalau kita (jawa) dipenggal di leher. You have to achieve your target, your task.

Ada sebuah kisah menarik yang terjadi ketika bangsa ini masih dijajah Belanda. Pada tahun 1627, Sultan Agung Hanyokrokusumo memimpin Mataran menyerbu Batavia. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Mandurarejo didampingi Adipati Ukur dan Banaspati. Dalam pertempuran selama 4 bulan itu, ternyata mereka kalah. Mandurarejo sebagai manggoloyudho, pulang menghadap Sultan. Ia melapor, “Kanjeng Sultan, maaf, saya kalah. Saya mohon ampun, mohon keringanan hukuman: jangan keluarga saya ditumpas.” Ia (Mandurarejo) kemudian pulang, berendam, mandi di rumah, melaksanakan salat zuhur, pakai baju ihram kemudian berangkat menuju alun-alun dan lehernya dipenggal. “Ini real.” Kata si profesor.

Real javanesse juga punya nilai-nilai disiplin tinggi. Jer basuki mowo bea, supaya kamu maju harus berlatih dengan disiplin tinggi. Prof. Djokosantoso lantas menceritakan pengalaman masa kecilnya di Mangkunegaran, Kasunan. Sebelum akil baliq kami (Prof. Djokosantoso dan teman-temannya) dikumpulkan, setelah akil baliq dipisahkan keputran dan keputren. Kami dilatih: ilmu kesusasteraan dan agama, ilmu kenegaraan, dan ilmu kanuragan (silat, naik kuda). Untuk berhasil, baik laki maupun perempuan harus mempunyai disiplin tinggi. Mereka juga dididik dengan nilai-nilai kehormatan jawa.

Sedangkan operational values-nya adalah hangroso handarbeni, wajib melu ngopeni, dan ngulat saliro hangroso wani. Hangroso handarbeni itu adalah sense of belonging, tapi hanya sense (rasa), bukan menguasai atau mengambil paksa. Wajib melu hangopeni, sense of maintaining, memelihara baik-baik segala sesuatu dengan kesungguhan. Mulat sariro hangroso wani, introspeksi diri berani dan berkata apa yang benar. Sebaiknya manusia itu bersama-sama menyuarakan kebenaran. Namun saat ini kita bersama-sama membenarkan sesuatu.

“Darah itu merah Jenderal, Jawa itu disiplin Kapten,” said someone.

disarikan dari buku Cracking Values karya Rhenald Kasali, Ph.D

Aku dan Siapa?

Aku dan gula-gula ketika kecil/

Manis, manis, mengais cinta yang tak pernah habis//

Aku dan madu kala kanak-kanak/

Manis, manis, pekatnya manis yang tak kunjung habis//

Aku dan anggur saat remaja/

Manis, ih asam, sabarnya anggur dituai manis//

Aku dan kurma lepas remaja/

Manis, ah keras, biji tergigit keras pula di dalam hati//

Aku dan siapa/

Dan siapa lagi nanti/

Terpaut hari menanti-nanti, masih banyak belum tercicipi//

Aku dan, hihihi/

Cinta Diri berseri-seri//

Ikhlas

Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Yang disebut ikhlas adalah ketika Allah menjagamu dari keduanya
(Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah)

Tema khotbah Jumat hari ini adalah tentang “ikhlas”

*aku gak tidur kan.. 😀

Kawan Lama, Apa Kabar?

08/09/2012. Yogyakarta-Ngawi. Beberapa minggu belakangan ini aku lebih suka menempuh perjalanan Ngawi-Jogja, Jogja-Ngawi dengan menggunakan jasa angkutan kereta Madiun Jaya alih-alih tetap memakai jasa Sumber Kencono, Mira atau Eka seperti yang sudah-sudah. Tidak terlalu capek kalau naik kereta, itu alasan utamanya.

Luas stasiun yang relatif kecil dibanding terminal ditambah jadwal keberangkatan kereta yang sudah pasti memungkinkanku bertemu dengan kawan-kawan lama asal Ngawi yang tengah belajar di Jogja. Ketika kereta melewati stasiun Solo Balapan, kadang tambah lagi ketemu kawan yang tengah belajar di Solo. Seperti yang terjadi sabtu kemarin. Tengah asyik membaca tabloid BOLA yang kubeli di stasiun Lempuyangan, tiba-tiba ada orang yang duduk di depanku.

“Nugroho ya..?!” sapanya mengagetkanku.

“Owh…, kamu to..”, kataku sembari mengingat-ingat, siapa nama orang ini.

Bayangan yang muncul dalam ingatanku adalah, dia memang teman satu kelasku ketika SMA kelas satu dulu. Masalahnya, kita sudah berpisah sejak kelas dua SMA karena program prnjurusan. Aku di IPA 5 dia di IPA 6 (ini pun aku tahu belakangan).

Belum kelar aku menebak-nebak namanya, dia sudah memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan standar ketika bertemu kawan lama: sekarang di mana? Kamu udah lulus kan? Kos di mana?, dan pertanyaan-pertanyaan standar lain.

Aku jawab pertanyannya satu-satu, hingga tuntas dan sekarang giliranku mengajukan pertanyaan yang tak jauh beda dengan yang dia ajukan, lebih ngirit pertanyaan malah, karena setiap dia bertanya tentang diriku, di akhir jawabanku akan aku tambahi dengan pertanyaan: “Kalau kamu?” Haha, praktis dan tidak kehilangan bahan obrolan.

Beberapa menit berbincang, aku tahu kalau dia sudah lulus S1 dari Pendidikan Biologi UNS (jurusan yang sama denganku sebelum aku berganti jurusan karena pindah ke STAN) dan katanya sekarang masih di UNS, masih ingin belajar lebih lagi di UNS. Aku yang kurang paham dengan pilihan kata yang ia pakai –belajar lebih lagi–, mengejar lebih jauh, “nglanjutin S2?” Dengan senyum malu-malu dia menjawab, “Alhamdulillah, iya”.

Aku terdiam sejenak, seperti biasa mencoba menyalurkan imaji dengan bermain-main dengan pikiranku sendiri. Dia, kawanku ini yang ketika SMA –mohon maaf– tidak terlalu menonjol dalam akademis maupun organisasi sehingga untuk mengingat namanya aku perlu mencarinya yang mungkin terselip dalam file-file lama pada ingatanku.

Entah, bagaimana mengatakannya, tapi aku kagum dan salut akan komitmennya pada ilmu dan pendidikan, mengingat jejak rekam di SMA yang kalah mentereng dengan nama-nama yang jadi langganan juara kelas dan lomba olimpiade. Bahkan seringkali ketika di kelas dengan muka polosnya kerap kebingungan karena gak nyambung dengan penjelasan bapak/ ibu guru. Namun, ketika teman-teman seangkatan lain banyak yang masih berkutat dengan skripsi, persiapan wisuda, atau bahkan masih adem ayem di ruang kuliah karena target SKS yang belum terpenuhi, ia mengejutkanku karena sudah kembali lagi ke ruang kuliah dengan santapan ilmu yang berbeda; S2 Mikro Biologi UNS. Selamat kawan.

“Semoga sukses”, kataku sebelum kami berpisah karena aku akan turun di stasiun Paron dan ia melanjutkan perjalanan sampai stasiun Geneng, sambil menatap diriku sendiri yang masih lulusan D3. Tak apa, ia memotivasi untuk tak cepat puas akan ilmu. Suatu saat dengan izin Allah, aku akan melampauinya.

#respect

*eh, sudahkah kutulis bahwa kawanku ini seorang perempuan?

Bismillah

image

Bismillah mula-mula.

Keukenhof, ingin sekali pergi ke sana…